Senin, 08 April 2013

KOMITMEN MUSLIM TERHADAP ISLAM




 كُنتُمۡ خَيۡرَ أُمَّةٍ أُخۡرِجَتۡ لِلنَّاسِ تَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَتَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنڪَرِ وَتُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ‌ۗ وَلَوۡ ءَامَنَ أَهۡلُ ٱلۡڪِتَـٰبِ لَكَانَ خَيۡرً۬ا لَّهُم‌ۚ مِّنۡهُمُ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَأَڪۡثَرُهُمُ ٱلۡفَـٰسِقُونَ (١١٠
"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” ( QS Ali Imran : 110 )

 Sebagaimana   telah  diketahui,  bahwa   tujuan   hidup manusia adalah Allah subhanahu wa ta’ala, yang dicapai dengan berusaha selalu mencari keridlaan-Nya melalui perjuangan melaksanakan tugas hidup selaku hamba-Nya.  Di dalam  melaksanakan  tugas hidupnya  dengan  baik  -agar nantinya  mendapat  ridla Allah- manusia harus  memilih Islam sebagai jalan  hidup (way of life),  yang akan  mengantarkannya ke dalam kedamaian,  keselamatan, dan   kebahagiaan  dunia  maupun   akhirat.   Pemilihan alternatif  selain  Islam  sebagai  jalan  hidup   akan merugikan  dirinya,  membawa kesengsaraan, kesesatan, dan kemurkaan Allah. Tidak  semua  agama itu  benar  sebagaimana  didakwakan sementara  orang,  tetapi   hanya   Islam-lah   agama   yang  benar  dan  dapat diuji  akan  kebenarannya.  Pemilihan agama  selain Islam, hanya akan memberikan  angan-angan kosong karena di akhirat akan mendapat kerugian.


 وَٱلۡعَصۡرِ (١) إِنَّ ٱلۡإِنسَـٰنَ لَفِى خُسۡرٍ (٢) إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلصَّبۡرِ (٣


demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS Al Ashr : 1-3 )


Sebagai konsekuensi logis atas keimanan terhadap Islam, maka seorang yang mengaku beragama Islam harus memiliki rasa  terikat  diri (komitmen) kepada  Islam.  Komitmen tersebut menurut Endang Saifuddin Anshari, MA  meliputi: mengimani,  mengilmui,  mengamalkan, menda’wahkan dan bersabar dalam ber-Islam.


MENGIMANI ISLAM
Setiap orang yang mengaku  beragama  Islam atau muslim harus mengimani kesempurnaan dan kemutlakan kebenaran  Islam, sebagai   suatu   ajaran  yang  universal   dan   abadi  (eternal),   yang  mengatur  hubungan  antar manusia sebagai makhluq dengan Allah sebagai Khaliq (Pencipta), antara  manusia  dengan  manusia  lainnya  dan   antara manusia dengan alam sekitarnya. Setiap   manusia  diberi  kebebasan   untuk   melakukan pemilihan dalam hidupnya. Allah telah memberi kebebasan kepada  manusia  untuk mengambil salah  satu  dari  dua alternatif,   yaitu   iman  atau   kafir. Namun   demikian  bagi  seorang  yang  telah   beriman, diharapkan supaya selalu tetap beriman dan tidak  ragu-ragu  agar terhindar dari kesesatan.
 يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِۦ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسۡلِمُونَ (١٠٢



Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam Keadaan beragama Islam.” ( Ali Imran :102)

Komitmen  muslim  dalam  mengimani  Islam  seharusnya membawa   kepada   kepasrahan   diri   kepada   Allah, sebagaimana makna Islam itu sendiri. Abul A’la Maududi berpendapat, bahwa   Islam  bermakna  kepatuhan   dan   kerajinan menjalankan  kewajiban  kepada  Allah.  Islam  bermakna memasrahkan diri kepada Allah. Islam bermakna mengorbankan  kebebasan  dan kemerdekaan  diri  sendiri demi  Allah.  Islam bermakna menyerahkan  diri  di bawah kekuasaan kerajaan dan kedaulatan Allah. Seseorang yang mempercayakan segala urusannya kepada Allah adalah seorang muslim, dan seorang yang mempercayakan urusan-urusannya  kepada dirinya sendiri atau kepada  siapapun selain  Allah bukanlah  seorang  muslim.  Mempercayakan segala  urusan kepada Allah berarti menerima  bimbingan Allah   yang  diberikan  melalui Kitab Suci-Nya dan bimbingan  yang diberikan oleh  Rasul-Nya.  Selanjutnya hanya Al Quraan  dan Sunnah Rasul  sajalah  yang  harus diikuti  dalam  setiap masalah kehidupan.

Sekali lagi yang dapat dinamakan seorang muslim hanyalah orang yang rela   mengesampingkan   pemikirannya   sendiri,   adat kebiasaan masyarakat dan dunia serta nasehat-nasehat dari orang lain, selain nasehat dari Allah dan Rasul-Nya. Seorang muslim adalah orang yang  dalam  setiap persoalan  selalu berkonsultasi dengan Kitab Allah  dan kata-kata Rasul-Nya, untuk mengetahui apa yang harus ia lakukan dan apa yang tidak boleh ia lakukan.  Seorang Muslim  ialah orang yang mau menerima  tanpa  ragu-ragu sedikitpun petunjuk apa saja yang didapatnya dari Allah dan  Rasul-Nya,  dan  menolak  apapun  yang  dilihatnya bertentangan  dengan  petunjuk  Allah  dan   Rasul-Nya, karena  ia  telah  mempercayakan  dirinya   sepenuhnya kepada   Allah.   Dan   tindakan   mempercayakan diri sepenuhnya   kepada Allah  inilah yang  menjadikan seseorang  dapat  disebut seorang  muslim.
Sebaliknya, seseorang tidaklah dapat dinamakan seorang muslim  bila ia  tidak bergantung pada Al Quraan dan  Sunnah  Rasul, tetapi melaksanakan apa yang dikatakan oleh pikirannya sendiri, atau mengikuti apa yang diperbuat oleh nenek moyangnya, atau menyesuaikan diri    dengan apa yang dilakukan oleh masyarakat sekitarnya dan oleh orang-orang  di dunia pada umumnya, tanpa mencari petunjuk dalam Al Quraan dan Sunnah tentang bagaimana  menangani masalah  urusan-urusannya, atau bila ia tahu  apa  yang diajarkan oleh Al Quraan dan Sunnah tetapi ia keberatan untuk  menurutinya  dengan mengatakan: “Ah,  ini  tidak sesuai dengan akal pikiran saya, karena itu saya  tidak bisa menerimanya”, atau “Karena ajaran Al Quraan  dan Sunnah ini bertentangan dengan ajaran nenek moyang saya, maka  saya  tidak akan mengikutinya”,  atau  “Karena masyarakat  dan  orang-orang  di  seluruh  dunia  tidak menyetujui ajaran Al Quraan dan Sunnah, maka saya juga tidak akan  menyetujuinya”. Orang  yang  berpandangan seperti  ini tidak dapat dinamakan seorang muslim,  dan bila ia menyatakan bahwa dirinya adalah seorang muslim, ia hanyalah seorang pendusta.

Demikianlah,  komitmen  muslim didalam  mengimani  Islam seharusnya  memberi  bekasan yang paling  dalam  kepada seorang manusia yang menganggap dirinya muslim. Pendapat Abul A’la  Maududi di atas tentunya sangat patut kita renungkan. Karena keimanan  yang  benar  adalah keimanan  yang konsekuen di jalan lurus  (shiratal mustaqim).

MENGILMUI ISLAM
Setiap muslim  harus berusaha memperdalam pengetahuannya tentang ajaran agama Islam,  sesuai  dengan kemampuannya,  dan dilakukan sepanjang  hidupnya  (long life  education). Mengilmui  Islam adalah  merupakan  suatu kewajiban dalam  rangka melaksanakan tugas penghambaan kepada Allah dengan cara  yang benar, sesuai tuntunan  Allah  dan Rasul-Nya. Orang yang beriman dan memiliki pengetahuan adalah manusia yang memiliki nilai lebih, karena itu mereka layak memperoleh derajat di sisi Tuhan-nya.

 يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قِيلَ لَكُمۡ تَفَسَّحُواْ فِى ٱلۡمَجَـٰلِسِ فَٱفۡسَحُواْ يَفۡسَحِ ٱللَّهُ لَكُمۡ‌ۖ وَإِذَا قِيلَ ٱنشُزُواْ فَٱنشُزُواْ يَرۡفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ دَرَجَـٰتٍ۬‌ۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٌ۬ (١١



Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majelis”, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS 58:11, Al Mujaadilah)

Al Quraan dan As Sunnah adalah sumber syari’at Islam oleh karena itu keharusan bagi setiap muslim adalah berusaha memahami keduanya, agar tidak  tersesat dari  jalan yang lurus. Al  Quraan  adalah  wahyu  Allah  yang  diturunkan untuk menjadi  petunjuk  bagi  umat manusia.  Sudah  barang tentu bagi seorang muslim harus ada keterikatan  dengan Al  Quraan dan berusaha mempelajari bukan mengacuhkannya. Al Quraan telah dimudahkan  untuk dipelajari dan  mempergunakannya  sebagai  petunjuk dalam hidup ini.

Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Quraan  untuk pelajaran,  maka  adakah  orang  yang   mengambil pelajaran?  (QS 54:17,22,32,40, Al Qamar).

Disamping Al  Quraan, sumber ajaran Islam  yang  lain adalah  Sunnah Rasul yang dikenal dengan  sebutan  Al Hadits, yaitu ucapan dan tindakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mapupun taqrir beliau. Al Hadits telah dicatat dan dikodifikasikan oleh para ulama dalam kitab-kitab kumpulan hadits, yang terkenal di antaranya adalah: Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan At Tirmidzi, Sunan An Nasa’i, Sunan Ibnu Majah dan lain sebagainya. Di dalam kumpulan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut akan kita dapatkan suri tauladan beliau dalam mengimplementasikan Al Quraan.

Sesungguhnya  telah ada pada (diri)  Rasulullah  itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang  yang mengharap  (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari  kiamat dan dia banyak menyebut Allah.  (QS 33:21, Al Ahzab).
Selama umat Islam  berpegang  pada Al Quraan dan Al Hadits  mereka  tidak  akan tersesat.  Demikian  pula  sebaliknya,  meninggalkan keduanya menyebabkan  mereka tersesat  dari  jalan yang lurus  dan  terombang-ambing  dalam   badai  kehidupan. Karena itu, seharusnya  umat Islam berusaha  untuk mengilmui  Islam dengan mempelajari Al Quraan dan Al Hadits sesuai dengan  kemampuannya.  Tidak  hanya  sekedar   mengikuti fatwa-fatwa  para ulama dan pendapat-pendapat para intelektual  tanpa mengetahui dasarnya, apalagi taqlid buta.
Mengkaji  Al Quraan dan Al Hadits  merupakan  kewajiban bagi  setiap  muslim. Dimulai  dari cara membacanya kemudian diikuti dengan  menelaah  dan  memahami  isi kandungannya, bahkan  bila memungkinkan sampai dapat  mengajarkannya kepada orang lain. Memang,  tidak setiap muslim harus menjadi ulama   yang ahli  Al  Quraan dan Al Hadits maupun  ilmu-ilmu  agama yang  berkaitan  dengan  keduanya.  Namun,  yang   perlu ditekankan adalah adanya kesadaraan diri untuk  mengilmui Islam dari sumbernya yang asli.
Sebagai  seorang muslim disamping menuntut  ilmu  agama sebagai   tugas   utama  dalam  menuntut   ilmu,   juga dipersilahkan  untuk  menuntut ilmu yang  lain  apabila ingin  mencari  keutamaan sesuai dengan  kemampuan  dan kecenderungan-kecenderungan  yang dimiliki, baik  ilmu-ilmu kealaman, sosial maupun humaniora.
MENGAMALKAN ISLAM
Setiap  muslim seharusnya memanfaatkan  keimanan  dan pemahamannya tentang  Islam dalam   aktivitas  amal  shalih  sesuai dengan kemampuannya. Perilaku  kesehariannya akan  diwarnai oleh keyakinannya terhadap  Islam.  Iman bukan saja membekas di dalam hati tetapi juga terungkap dalam kehidupannya. Pengetahuannya tentang Islam  tidak berhenti  sebagai  islamologi belaka sebagaimana para orientalis,  namun dinyatakan dalam  kehidupan  sehari-hari. Ilmu yang  dimiliki  menjadi bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat pada umumnya.
Dan  katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka  Allah  dan Rasul-Nya   serta   orang-orang  mu’min   akan  melihat pekerjaanmu  itu,  dan kamu  akan  dikembalikan  kepada  (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu  diberitakan-Nya kepada kamu apa yang  telah  kamu kerjakan.    (QS 9:105, At Taubah).
Orang  yang  mengerjakan  amal  shalih  dalam   keadaan beriman  akan mendapat kehidupan yang baik  dan  pahala yang lebih baik, sebagaimana dalam firman-Nya:

Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik  laki-laki  maupun  perempuan  dalam  keadaan  beriman,  maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik  dan sesunggguhnya akan Kami beri  balasan  kepada mereka  dengan  pahala yang lebih baik  dari  apa  yang telah mereka kerjakan.  (QS 16:97, An Nahl).

MENDA’WAHKAN ISLAM
Islam  adalah  agama bagi seluruh umat  manusia,  tidak hanya  untuk ras atau golongan tertentu.  Islam  adalah agama universal. Wajar apabila seorang muslim  memiliki rasa   terikat  diri  untuk  menda’wahkan   Islam   dan menyebarkan agama ini sebagai rahmat bagi semesta alam. Sudah  seharusnya  bagi  seorang   muslim   untuk menda’wahkan  Islam,  sesuai dengan  kemampuannya, kepada orang  yang  sudah beragama Islam maupun yang belum memeluk Islam (non muslim).

Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”  (QS 41:33, Al Fushshilat)

Menda’wahkan Islam adalah merupakan komitmen muslim yang memiliki nilai  kemanusiaan tinggi. Mengajak kepada  aqidah  tauhid, membimbing ke  jalan  yang lurus dan membawa manusia kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Di dalam melaksanakan misi  da’wah, meskipun dapat dilaksanakan  sendiri-sendiri  oleh setiap individu muslim adalah merupakan suatu kebaikan -terlebih dalam dunia modern ini- untuk  melaksanakannya secara  kolektif dan terorganisir dengan memanfaatkan  segenap potensi  yang dimiliki.  Da’wah Islam apabila  dilakukan  secara  kolektif dan profesional, insya  Allah,  akan  dapat memberikan  hasil lebih  efisien,  efektif,  dan memuaskan.

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru  kepada kebaikan, menyuruh kepada  yang  ma’ruf dan  mencegah dari yang mungkar; merekalah  orang-orang yang beruntung.    (QS 3:104, Ali Imran).

Ayat tersebut menunjukkan, bahwa seorang mukmin yang memegang  teguh  komitmennya dalam  menda’wahkan  Islam adalah merupakan orang-orang yang beruntung, yang memiliki harapan akan  janji Allah untuk mendapatkan balasan yang baik. Punya  nilai tersendiri tentunya, apabila seorang muslim setelah dia mengimani, mengilmui, dan mengamalkan Islam, kemudian dia menda’wahkan Islam sesuai dengan kesanggupannya dengan terlibat dalam aktivitas da’wah islamiyah

SHABAR DALAM BERISLAM
Setiap muslim harus bersabar di dalam mengikuti  kebenaran. Sabar berarti  berusaha  untuk  mengatasi  permasalahan  yang dihadapi  dengan tabah lahir dan batin,  serta  diikuti dengan sikap tawakkal kepada Allah Yang Maha Kuasa. Sabar bukan berarti sekedar ‘nrimo’ atau pasrah  dalam menerima  masalah, namun lebih dari itu  juga  memiliki makna  akan adanya usaha (ikhtiyar). Jadi sabar  selain  memiliki pengertian  kepasrahan  (tawakkal)  kepada  Allah,  juga mengandung  makna berusaha untuk mengatasi  permasalahan yang  dihadapi.  Karena itu, tidaklah  mengherankan  ada orang  yang  berpendapat  bahwa sabar  itu  tidak  ada batasnya, mengingat firman Allah:
Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu  dan kuatkanlah  kesabaranmu  dan  tetaplah  bersiap   siaga  (diperbatasan  negerimu) dan bertakwalah kepada  Allah, supaya kamu beruntung.  (QS 3:200, Ali ‘Imran).

Tiap-tiap  yang berjiwa akan merasakan mati  dan  Allah akan  menguji  setiap manusia dengan  fitnah,  termasuk juga pengakuan atas keimanan mereka.

Apakah  manusia itu mengira bahwa  mereka  dibiarkan saja  mengatakan: “Kami telah beriman”,  sedang  mereka tidak diuji lagi?. Dan sesungguhnya Kami telah  menguji orang-orang  yang  sebelum  mereka,  maka  sesungguhnya Allah    mengetahui   orang-orang   yang   benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (QS 29:2-3, Al Ankabuut).

Sudah seharusnya, apabila seorang muslim dalam rangka untuk  tetap istiqamah dalam memeluk Islam menjadikan sabar sebagai bagian  dari  komitmennya,  dan  menjadikannya   sebagai penolong.
Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) salat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS 2:153, Al Baqarah)


















 

0 komentar:

Posting Komentar