Minggu, 17 April 2016

Mari Belajar Jatuh Cinta Dari Istri Buya Hamka

“SAYA diminta berpidato, tapi sebenarnya ibu-ibu dan bapak-bapak sendiri memaklumi bahwa saya tak pandai pidato. Saya bukan tukang pidato seperti Buya Hamka. Pekerjaan saya adalah mengurus tukang pidato dari sejak memasakkan makanan hingga menjaga kesehatannya.”
Itulah kalimat singkat dari Siti Raham binti Endah saat didapuk memberikan pidato dalam kunjungan Buya Hamka ke Makassar. Tak disangka, ucapan dari wanita bersahaja itu mendapat sambutan besar dari ribuan hadirin. “Hidup Ummi.. Hidup Ummi!” pekik massa.
Buya Hamka pun meneteskan air mata. Tangis haru dari ulama besar itu mengiringi langkah kaki sang kekasih turun dari panggung. Betapa besar pengorbanan istri tercintanya dalam masa-masa perjuangan. Siti Raham adalah garansi dari ketawadhuan di balik nama besar Buya Hamka.
Kisah cinta mereka dimulai pada 5 April 1929. Kala itu, Siti Raham berusia 15 tahun. Sedangkan Buya Hamka berumur 21 tahun. Sejak itu, mereka sah menjadi pasangan suami istri. Ya, di sebuah usia di mana para muda-mudi saat ini lebih sibuk memakan rayuan.
Perjuangan Buya Hamka meminang Siti Raham patutlah ditiru. Tidaklah salah Allah menganugerahi manusia dengan kekuatan akal pikirannya. Buya Hamka kemudian menulis roman berbahasa Minang berjudul “Si Sabariyah”. Buku itu dicetak tiga kali. Dari honor buku itulah Buya membiayai pernikahannya.
Banyak suka dan duka mewarnai perjalanan Buya Hamka merajut rumah tangga. Ulama Muhammadiyah itu tidak salah memilih Siti Raham. Di saat ujian datang, wanita kelahiran 1914 ini tampil sebagai motivasi baginya. Tanpa mengeluh maupun gundah.
“Kami hidup dalam suasana miskin. Sembahyang saja terpaksa berganti-ganti, karena di rumah hanya ada sehelai kain,” tutur Hamka dalam buku biografi “Pribadi dan Martabat Buya Prof Dr. Hamka” karangan Rusydi Hamka.
Puncak kemiskinan dua sejoli ini terjadi ketika lahir anak ketiga, yaitu Rusydi Hamka. Dia dilahirkan di kamar asrama, Kulliyatul Mubalighin, Padang Panjang pada 1935. Sedangkan anak pertama Buya Hamka, bernama Hisyam, meninggal dalam usia lima tahun. Besarnya beban ekonomi ditambah kerasnya penjajahan, membuat Hamka harus memutar otak untuk membiayai anak-anaknya.
Dalam kondisi kekurangan, pergilah Hamka ke Medan untuk bekerja di Majalah Pedoman Masyarakat. Nama penanya Hamka.
Selama di Medan, ia banyak menulis artikel di berbagai majalah dan sempat menjadi guru agama saat beberapa bulan di Tebing Tinggi. Ia mengirimkan tulisan-tulisannya untuk surat kabar Pembela Islam di Bandung dan Suara Muhammadiyah yang dipimpin Abdul Rozak Fachruddin di Yogyakarta.
Selain itu, ia juga bekerja sebagai koresponden di Harian Pelita Andalas dan menuliskan laporan-laporan perjalanan, terutama perjalanannya ke Mekkah pada tahun 1927. Dari situlah lahir Novel Hamka Di Bawah Lindungan Ka’bah. Di kota yang kini menjadi ibukota Sumatera Utara itu, Hamka tinggal selama sebelas tahun.
Menurut penuturan Rusydi Hamka, saat itulah dia menyaksikan dan mengalami kesulitan-kesulitan hidup kedua orangtuanya. Di balik tanggung jawab sang ayah, tak lupa kesetiaan Siti Raham senantiasa bersamanya. Wanita tegar itu senantiasa menjalankan amanah Buya Hamka untuk menjadi istri yang taat suami dan mendidik anak-anak di kala Buya tiada bersamanya.
Namun di tengah keterbatasannnya, Hamka sukses menulis buku Tasawuf Modern, sebagai karangan bersambung dalam majalah Pedoman Masyarakat. Setelah selesai pemuatan dalam majalah, atas permintaan pembaca Tasawuf Modern diterbitkan sebagai sebuah buku untuk pertama kali tahun 1939.
Penerbitan pertama ini ternyata mendapat sambutan dari masyarakat sehingga mengalami cetak ulang beberapa kali dari sebuah penerbit di Medan. Setelah Proklamasi Kemerdekaan, Tasawuf Modern kembali diterbitkan di Jakarta sekitar tahun 60-an.
Dengan kondisi pas-pasan, Buya Hamka mampu menahkodai rumah tangga dengan tujuh orang anak. Itu belum ditambah beberapa kemenakan yang ikut dibiayai Buya Hamka. Sebab dalam adat Minang, seorang Mamak punya tanggung jawab terhadap kemenakan dan saudara perempuannya.
Rusydi mengatakan Hamka adalah orang yang biasa-biasa saja. Berbeda dengan pria keturunan Minang yang pandai berdagang, Buya Hamka bukanlah orang yang mewarisi bakat berbisnis. Hamka juga bukanlah orang yang hidup dari gaji pemerintah.
“Ketika pindah ke Padang Panjang dalam suasana revolusi, ayah jelas tak punya sumber kehidupan tetap yang diharapkan setiap bulan,” terang Rusydi Hamka.
Saat memimpin Muhammadiyah di Sumatera Barat, Buya Hamka kerap keliling kampung untuk berdakwah. Perjalanan itu dilaluinya dengan Bendi maupun berjalan kaki. Hal itu dilakukan selama berhari-hari tanpa pulang ke rumah.
Maka saat menemui istrinya di rumah, pertanyaan yang sering diutarakan Buya Hamka adalah: Apakah anak-anak (bisa) makan? Hingga Buya Hamka sengaja menepuk perut anak-anaknya untuk mengetahui apakah buah hatinya lapar atau kenyang.
Di sinilah, Siti Raham sukses menjalankan amanah sebagai Ibu. Agar anak-anaknya tidak kelaparan, Siti Raham rela menjual harta simpanannya. Beliau bukanlah wanita menjadikan perhiasan sebagai makhota. Karena makhota sejatinya adalah Buya Hamka dan keluarga.
Maka kalung, gelang emas, dan kain batik halus yang dibelinya di Medan terpaksa dijual di bawah harga demi membeli beras dan membayar uang sekolah anak-anak. Biarlah dirinya kesusahan, asal perut anak-anaknya tidak kelaparan dan tetap bisa melanjutkan pendidikan.
Kerap kali dirinya meneteskan air mata, ketika membuka almarinya untuk mengambil kain-kain simpanannya untuk dijual ke pasar. Tak tega melihat istrinya terus menguras hartanya, Buya Hamka sontak mengeluarkan beberapa helai kain Bugisnya untuk dijual. Namun sang istri mencegahnya.
“Kain Angku Haji jangan dijual, biar kain saya saja. Karena Angku Haji sering keluar rumah. Di luar jangan sampai Angku Haji keliharan sebagai orang miskin,” ujarnya.
Demikianlah dalam keadaan sederhana Siti Raham masih mempertimbangkan kehormatan suaminya. Apa saja dilakukannya agar Buya Hamka tidak terlihat lusuh di mata jama’ah dan masyarakat. Dari mulai memikirkan pakaian hingga membersihkan kopiah bila Buya Hamka hendak keluar. Karena cinta adalah kehormatan.
Maka melihat Buya Hamka menangis saat dirinya turun dari mimbar pidato di Makassar, sang istri hanya bisa tersenyum, “Kan yang Ummi pidatokan itu kenyataannya saja.”
KIPRAH Hamka dalam perjuangan nasional sepanjang 1945-1949 kian meningkat berbarengan dengan terjadinya perang revolusi menentang kembalinya Belanda yang terus kian merebak di seluruh Tanah Air. Pada 1947, Hamka diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional dengan anggota Chatib Sulaeman, Udin, Rangkayo Rasuna Said, dan Karim Halim.
Selain itu, Hamka juga diangkat Wakil Presiden Mohammad Hatta sebagai sekretaris Front Pertahanan Nasional yang merupakan gabungan dari berbagai partai politik. Ketua front ini adalah Bung Hatta sendiri.
Selanjutnya, Hamka membentuk Badan Pembela Negara dan Kota (BPNK) yang merupakan barisan perlawanan gerilya terbesar di wilayah Sumatra Barat. Hamka sendiri sangat aktif bergerilya dan hampir tidak pernah bisa ditemui di satu tempat tetap.
Kekuatan cinta Buya Hamka dan Siti Raham kembali diuji saat tentara Belanda menduduki Padang Panjang tahun 1948. Akibat serangan itu, Buya Hamka dan Siti Raham harus berpisah.
“Ayah mengungsikan kami ke kampung Sungai Batang. Sementara beliau sendiri berkeliling di daerah pedalaman, menjadi juru penerangan rakyat dalam kedudukan beliau sebagai Ketua Front Pertahanan Rakyat,” kata Rusydi Hamka.
Selama berbulan-bulan, Buya Hamka tidak dapat bertemu dengan keluarganya. Mereka sendiri tidak mengetahui di mana rimba Buya berada. Tinggal di kampung dalam blokade Belanda benar-benar menjadi pengalaman berat bagi Siti Raham. Terlebih Siti Raham belum pandai bertani seperti orang-orang kampung lainnya.
Saat itu, untuk mengganjal perut, anak-anak Hamka hanya bisa memakan ubi dan bubur. Mereka harus bisa menahan rasa lapar di tengah perjuangan Buya Hamka. Waktu itulah, Aliyah nyaris menemui ajalnya. Terlalu sering mengkonsumsi ubi, membuat Aliyah terserang penyakit. Alhamdulillah, Aliyah berhasil selamat berkat pengobatan dukun kampung.
Syukurlah, krisis itu tidak berlangsung lama. Januari 1950, mereka pindah ke Jakarta pasca pengakuan kedaulatan. Pindah dengan jarak yang jauh, Buya Hamka membawa serta istri dan anak-anak mereka. Di Jakarta, Buya Hamka dan Istri menyewa di rumah Gang Toa Hong II, Sawah Besar.
Setelah menetap di Jakarta, Buya Hamka mendapatkan tawaran untuk duduk di jajaran pemerintahan. H. Abu Bakar Aceh yang saat itu Pegawai Tinggi kementerian Agama mengajaknya masuk ke lembaga pemerintahan itu. Kala itu, KH. Wahid Hasyim menjadi Menteri Agama.
Setelah berpikir panjang, Buya Hamka menerima tawaran itu. Jabatan ini menjadi sejarah baru Buya Hamka masuk ke ranah pemerintahan. Beliau bersyukur karena memperoleh kedudukan sebagai pegawai tinggi meski dirinya tidak pernah mengantongi ijazah apapun.
Berstatus sebagai pegawai pemerintah, aktivitas Buya Hamka semakin lama semakin padat. Berkat kepiawaiannya berdakwah, Hamka banyak diundang ke berbagai tempat untuk ceramah. Buya Hamka juga mendapatkan kesempatan untuk keliling negara. Termasuk mengunjungi Amerika selama empat bulan.
Berkat keluasan ilmunya, Buya Hamka ditunjuk menjadi dosen di sejumlah perguruan tinggi Islam. Berbagai perguruan tinggi bergengsi menjadi tempat Buya Hamka menularkan ilmunya. Di antaranya Universitas Islam Jakarta, PTAIN Yogyakarta (sekarang UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), Universitas Muhammadiyah Padang Panjang, dan Universitas Muslim Ujung Pandang.
Pada fase inilah, Buya Hamka kemudian mulai aktif berkiprah menjadi pengurus Partai Masjumi. Ini bukanlah kiprah politik Hamka pertama kali. Sebab pada tahun 1925, Hamka sudah tercatat sebagai anggota partai politik Sarekat Islam.
Hamka langsung melejit sebagai politisi muslim di Masjumi. Pada tahun 1955, gagasan-gasannya dalam Islamisasi negara banyak membakar semangat kaum muslimin. Pidato-pidatonya, keras, bernas, dan menggelagar. Hal ini membuat Soekarno murka.
“Adalah satu hal yang sangat tidak bisa diterima akal; mengaku diri Islam, mengikut perintah Allah dalam hal sembahyang (shalat) tetapi mengikuti teori manusia dalam pemerintahan…” demikian kata Buya Hamka.
Akibatnya, kursi Buya Hamka di Kementerian Agama mulai digoyang. Sembilan tahun menikmati posisi sebagai pegawai, Buya Hamka akhirnya harus menerima pil pahit. Soekarno mengeluarkan Peraturan Pemerintah yang menjadi akhir karir Buya Hamka di Kementerian Agama.
Saat itu, Soekarno meminta para pegawai untuk memilih: tetap menjadi pegawai atau anggota partai. Buya Hamka bimbang. Pilihan ini cukup sulit baginya. Inilah tekanan nyata bagi para aktivis Masjumi.
Dalam keadaan bimbang itu, Siti Raham tampil menenangkan Buya Hamka. Dengan tenang dan sabar, Siti Raham memotivasi suaminya. Dia menjadi tempat bersandar saat Buya resah. Tidak ada paksaan darinya agar Buya tetap mengikuti keinginan Soekarno. Padahal, mereka baru saja merasakan kenikmatan dengan hidup berkecukupan di Jakarta. Dengan lembut namun tegas, Siti Raham berkata: “Jadi Hamka saja!”
Begitulah Siti Raham menuntaskan posisinya sebagai istri. Bijak, sabar, dan setia. Dia selalu menjadi motivator di balik keteduhan suaminya. Siapa sangka, Buya Hamka mantap atas pilihannya. Setelah menimbang maslahat dan mudharatnya, Masjumi menjadi pilihan utama Buya. Di depan anak-anaknya, Buya Hamka berujar, “Kita tidak akan mati karena tidak lagi menerima gaji dan beras dari pemerintah. Tuhanlah yang menjamin hidup makhluknya!”
Satu hal yang direkam Rusydi Hamka, Buya tidak pernah memikirkan bagaimana nanti masalah gaji dan uang pensiun saat mengambil keputusan itu. “Dia tidak bimbang sedikitpun, padahal kita semua termasuk ibu justru mencemaskan hal itu,” papar rusydi (sp/ip)

0 komentar:

Posting Komentar